Pancasila sejatinya memiliki tiga fungsi utama bagi Indonesia, yakni sebagai pandangan hidup (weltanschauung), dasar negara, dan ideologi negara. Pancasila ditanamkan pada setiap warga negara Indonesia melalui berbagai cara di tiap-tiap masa rezim pemerintahan. Dalam praktiknya, ada persoalan yang serius dan mendasar dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila sejak Indonesia menjadi bangsa yang merdeka. Pancasila telah ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga membenarkan dan memperkuat otoritarianisme negara (Wahyudi, 2006). Salah satu ciri kekuasaan yang otoriter di manapun adalah selalu menganggap ideologi sebagai faktor terpenting yang berhubungan erat dengan stabilitas atau kohesi sosial. Namun demikian, asumsi bahwa usaha menyeragamkan ideologi penting untuk dilakukan demi menciptakan stabilitas dan memperkuat kohesi masyarakat adalah asumsi yang menyesatkan (Thompson, 1984). Berkaca pada pengalaman di masa sebelum reformasi, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) perlu merumuskan cara atau metode penanaman nilai- nilai Pancasila yang relevan dengan perkembangan zaman. Cara doktrinasi bukanlah hal yang diharapkan untuk kembali diterapkan dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila ini. Meskipun tujuannya adalah agar dapat mendorong masyarakat memahami dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila, perlu dipahami bahwa adanya pembentukan UKP-PIP (Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila) diharapkan tidak mengulangi program

Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P4) sebagaimana yang dibuat oleh Pemerintahan pada masa Orde Baru, sebab unit P4 dulu bersifat doktriner, formalistik, dan doktrinasi (Fachrudin, 2017). Pancasila pada hakikatnya mengandung prinsip (Soeprapto, 2005) atau nilai (Kaelan, 2013) yang dijelaskan dalam norma sosial dan hukum negara. Salah satu metode yang efektif dalam menanamkan Pancasila adalah melalui pemberdayaan masyarakat.