Skema pengaturan kewenangan pengelolaan Minerba seperti tercantum dalam UU No. 3 Tahun 2020 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menekankan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah pusat untuk mengatur dan mengurus Minerba dalam konteks perizinan, pembinaan dan pengawasan. Untuk memastikan bahwa penyelenggaraan wewenang perizinan berusaha pertambangan minerba memenuhi norma dan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, UU No. 3/2020 mengatur tentang pelaksanaan pembinaan dan pengawasan. Secara umum pembinaan dilakukan oleh pemberi izin, yaitu pemerintah pusat atau pemerintah daerah sedangkan pengawasan terhadap pelaksanaan izin kegiatan usaha akan dilakukan oleh pemerintah pusat, dengan bantuan gubernur pada proses pengawasannya.

Wewenang pendelegasian yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat maupun daerah memunculkan urgensi baru untuk memperkuat fungsi pengawasan dan pembinaan (Binwas), sesuai amanat Undang-Undang No. 3 Tahun 2020. Salah satu tujuan utama pengawasan adalah untuk memastikan bahwa pelaksanaan pemberian izin minerba berjalan sesuai tata kelola pemerintahan yang benar. Berdasarkan kajian yang dikeluarkan oleh UI CSGAR (2020), fungsi pengawasan dapat diwujudkan melalui pembentukan Unit Pelaksana Teknis (UPT) sebagai instansi pelaksana pengawasan yang ditempatkan di daerah.

Menilik lebih dalam mengenai pembentukan UPT bidang pembinaan dan pengawasan Minerba, pada Minerba, perlu membahas secara mendalam mengenai tata kelola dan model pembinaan dan pengawasan yang tepat untuk mendukung fungsi tersebut secara maksimal. Desain model pembinaan dan pengawasan ini ditujukan untuk memastikan bahwa tren peningkatan kinerja pengawasaan dan pembinaan Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM) tetap terjaga dan semakin meningkat.

Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa permasalahan, terutama pelanggaran dalam proses pertambangan Minerba tersebut masih terjadi. Diantara permasalahan tersebut antara lain berkaitan dengan Prosedur Pemberian Kuasa Pertambangan, Partisipasi dan Pengawasan Masyarakat dalam Pertambangan terutama berkaitan dengan dampak lingkungan hidup, serta ditemukannya enam belas modus pelanggaran kuasa pertambangan misalnya dalam reboisasi dan revegetasi tidak sesuai dengan ketentuan dan hanya secara formal, pengakavlingan tanah pasca tambang oleh pejabat pemerintah, Penambangan liar oleh perusahan dibekas tamban yang direboisasi dan perusahan yang tidak layak secara teknis, tetapi mendapatkan Kuasa penambangan (Prasojo dkk, 2010:63, 88-92). Hal ini menunjukkan masih perlunya penguatan pengawasan dalam pengelolaan minerba.

Dengan memperhatikan berbagai factor pembentuk kompleksitas tersebut, diperlukan suatu desain model untuk memperkuat fungsi pembinaan dan pengawasan dan memastikan terselenggaranya tata kelola pertambangan yang baik dan benar . Desain model pembinaan dan pengawasan (Binwas) memiliki ruang lingkup yang meliputi: model pembinaan dan pengawasan atas perizinan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Melihat pada urgensi tersebut, maka perlu disusun kajian akademik model pembinaan dan pengawasan perizinan dalam pengelolaan mineral dan batubara.

Kajian ini, bertujuan untuk: 1) menyediakan kerangka pengaturan pengawasan terhadap perizinan yang dikeluarkan Pemerintah Pusat serta memberikan rekomendasi model pembinaan dan pengawasan terhadap perizinan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat; dan 2) Menyediakan kerangka pengaturan pengawasan terhadap perizinan yang dikeluarkan Pemerintah Pusat menyediakan serta memberikan rekomendasi model pembinaan dan pengawasan terhadap perizinan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah.

Pada pelaksanaannya, kajian ini menggunakan metode penelitian kualitatif untuk mengkonstruksikan gambaran komprehensif mengenai model pembinaan dan pengawasan yang relevan bagi instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Metode pengumpulan data dilakukan dengan pengambilan data kualitatif. Data primer didapatkan dengan melakukan Focus Group Discussion (FGD) kepada narasumber yang ahli dalam bidangnya. Focus Group Discussion dilakukan sebanyak dua kali dengan dua tema yang berbeda. Sedangkan, teknik pengumpulan data sekunder dilaksanakan dengan melakukan studi literatur (desk research) melalui dokumen yang diberikan oleh pihak KESDM, Peraturan perundang- undangan serta kajian jurnal ilmiah. Analisa data kualitatif dilaksanakan secara tematik untuk dapat menjawab rumusan masalah.